Mengukur potensi perfilman Indonesia setelah FFI 2018

 Movie dramatization Marlina Si Pembunuh dalam Empak Babak yang merupakan karya sutradara perempuan Mouly Surya berjaya pada malam penganugerahan Celebration Movie Indonesia (FFI) pekan lalu. Movie ini menyabet 10 piala, termasuk dalam kategori movie terbaik, sinematografi terbaik dan pemeran utama perempuan terbaik.


[Marlina Si Pembunuh dalam Empak Babak], berlokasi di perbukitan yang kering dan luas di Sumba, Nusa Tenggara Timur, adalah movie yang kental dengan pesan-pesan feminis yang kuat. Movie ini juga disebut telah menciptakan category baru yang disebut satay western oleh majalah Range. Setelah pemutaran di Celebration Movie Cannes di Perancis dan dipilih sebagai perwakilan Indonesia dalam ajang Oscars, movie ini mewakili sepak terjang movie Indonesia menguasai panggung dunia.


Marlina bersaing dengan tiga movie lainnya untuk kategori movie terbaik–film dramatization percintaan Aruna dan Lidahnya yang disutradarai oleh Edwin yang merupakan pemenang sutradara terbaik di FFI tahun lalu, movie Sekala Niskala yang disutradarai oleh Kamila Andini, dan movie biopik Sultan Agung oleh sutradara Hanung Bramantyo.


Film-film terbaik Indonesia biasanya tidak begitu populer di pasaran. Tahun ini, dua movie paling populer adalah movie percintaan remaja Dilan 1990 yang ditonton sekitar 6,3 juta orang, lalu diikuti oleh movie horor Suzzanna: Bernapas dalam Kubur dengan 3,2 juta penonton. Meskipun tidak menarik penonton dalam jumlah besar, empat nominasi movie terbaik merupakan indikator perubahan besar yang terjadi pada industri movie Indonesia karena keempat nominasi ini hadir tepat dua dekade setelah runtuhnya rezim Orde Baru.


Menuju pasar worldwide

Semenjak runtuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998, empat movie Indonesia telah diputar di Cannes, yang dianggap sebagai celebration movie terbaik sedunia. Edwin, sutradara Aruna dan Lidahnya, adalah sutradara Indonesia ketiga yang filmnya diputar di Cannes. Movie pendeknya Kara, Anak Sebatang Pohon diputar di Cannes pada 2005. Edwin muncul di Cannes setelah sutradara elderly Garin Nugroho hadir di sana dengan dua filmnya Daun di Atas Bantal pada 1998 dan Serambi pada 2006, dan sutradara professional Eros Djarot dengan movie Tjoet Nja' Dhien pada 1989.


Pada tahun 2016, movie pendek karya sutradara muda Wregas Bhanuteja yang berjudul Prenjak memenangkan salah satu penghargaan bergengsi di Cannes yaitu Leica Cine Exploration Reward.

Kemunculan sutradara-sutradara Indonesia di Cannes adalah sebuah tanda simbolik munculnya generasi baru sutradara movie Indonesia yang menunjukkan kekuatan talenta, inovasi, dan kerja keras mereka. Celebration movie internasional lainnya juga menjadi ajang bagi para sutradara Indonesia lainnya untuk mempertontonkan karyanya. Sekala Niskala telah memenangkan berbagai penghargaan di berbagai celebration movie internasional seperti di Berlin, Jerman; Buenos Aires, Argentina dan Adelaide, Australia.

  Langkah Simpel Memainkan Slot Online 2020

Baik Marlina and Aruna juga menandai tumbuhnya bentuk kolaborasi antarnegara yang bertujuan memasarkan movie Indonesia ke luar negeri.


Marlina adalah movie yang diproduksi melibatkan banyak negara termasuk AstroShaw (Malaysia), HOOQ (Singapore), Purin Photos (Thailand) dan Shasha & Carbon monoxide Manufacturing (France).

Popular Posts